Post by benycasanova on Dec 30, 2005 3:38:02 GMT -5
Sastra Buruh Migran
-Advokasi tentang Kondisi TKI-
(sumber : harian Kompas, 22 Desember 2005, edisi cetak jawa timur)
Surabaya, KOMPAS-
Cerita pendek dan puisi yang ditulis para buruh migran Indonesia
potensial dijadikan alat advokasi atas kondisi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri yang mengalami ketidakadilan. Karya-karya
itu banyak berbicara tentang ketidakberdayaan para buruh migran
menghadapi para majikan yang kejam.
Dalam diskusi sastra Buruh Migran 2, Selasa (20/12) malam di Galeri
Surabaya, terungkap bahwa sebuah karya sastra tidak cukup hanya
berisi unek-unek, curahan hati, atau kemarahan yang meluap-luap atas
apa yang dialami seseorang. "Kalau hanya sebatas ekspresi individu
semacam itu, karya sastra menjadi kecil artinya. Akan lebih berarti
jika sebuah karya diberi muatan tentang perjuangan yang lebih luas
dan hal-hal yang lebih substansial tentang dunia perburuhan," kata
perupa sekaligus penyair Syaiful Hadjar.
Acara itu menghadirkan dua tenaga kerja wanita (TKW), Tania Roos
(Malang) dan Maria Bo Niok (Wonosobo), yang bekerja di Hongkong.
Tania membacakan cerpen berjudul Kabut Bukit Lok Fu, sedangkan Maria
membacakan puisi berjudul Surat untuk budiman. Karya itu berbicara
tentang pengalaman mereka bekerja di luar negeri, terutama mengenai
perlakuan majikan yang tidak adil kepada mereka.
Syaiful melihat, persoalan tentang buruh migran tidaak sebatas
hubungan pembantu dan majikan, namun lebih luas. Ada persoalaan
perlakuan agen tenaga kerja atau pemerintah Indonesia yang hanya
mengeruk keuntungan dari para buruh migran. "Ini berkaitan dengan
persoalan mental bangsa. Karya-karya buruh migran potensial menjadi
sebuah gerakan besar untuk menyumbang mengubah mental bangsan, "
ujarnya.
Certhingy Shoim Anwar yang tampil sebagai pembicara mengatakan,
ratusan buruh migran di Hongkong yang telah menghasilkan cerpen dan
puisi perlu mengeksplorasi ide lebih dalam. " Jangan sampai terjadi,
ketika orang mendengar sastra buruh migran akan mengungkapkan 'paling-
paling temanya begitu'. Sebab, selama ini karya-karya yang ditulis
hanya mengungkap kejamnya majikan sehingga lama-kelamaan akan jenuh
dan tidak menarik lagi," ujarnya.
(FRO)
-Advokasi tentang Kondisi TKI-
(sumber : harian Kompas, 22 Desember 2005, edisi cetak jawa timur)
Surabaya, KOMPAS-
Cerita pendek dan puisi yang ditulis para buruh migran Indonesia
potensial dijadikan alat advokasi atas kondisi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri yang mengalami ketidakadilan. Karya-karya
itu banyak berbicara tentang ketidakberdayaan para buruh migran
menghadapi para majikan yang kejam.
Dalam diskusi sastra Buruh Migran 2, Selasa (20/12) malam di Galeri
Surabaya, terungkap bahwa sebuah karya sastra tidak cukup hanya
berisi unek-unek, curahan hati, atau kemarahan yang meluap-luap atas
apa yang dialami seseorang. "Kalau hanya sebatas ekspresi individu
semacam itu, karya sastra menjadi kecil artinya. Akan lebih berarti
jika sebuah karya diberi muatan tentang perjuangan yang lebih luas
dan hal-hal yang lebih substansial tentang dunia perburuhan," kata
perupa sekaligus penyair Syaiful Hadjar.
Acara itu menghadirkan dua tenaga kerja wanita (TKW), Tania Roos
(Malang) dan Maria Bo Niok (Wonosobo), yang bekerja di Hongkong.
Tania membacakan cerpen berjudul Kabut Bukit Lok Fu, sedangkan Maria
membacakan puisi berjudul Surat untuk budiman. Karya itu berbicara
tentang pengalaman mereka bekerja di luar negeri, terutama mengenai
perlakuan majikan yang tidak adil kepada mereka.
Syaiful melihat, persoalan tentang buruh migran tidaak sebatas
hubungan pembantu dan majikan, namun lebih luas. Ada persoalaan
perlakuan agen tenaga kerja atau pemerintah Indonesia yang hanya
mengeruk keuntungan dari para buruh migran. "Ini berkaitan dengan
persoalan mental bangsa. Karya-karya buruh migran potensial menjadi
sebuah gerakan besar untuk menyumbang mengubah mental bangsan, "
ujarnya.
Certhingy Shoim Anwar yang tampil sebagai pembicara mengatakan,
ratusan buruh migran di Hongkong yang telah menghasilkan cerpen dan
puisi perlu mengeksplorasi ide lebih dalam. " Jangan sampai terjadi,
ketika orang mendengar sastra buruh migran akan mengungkapkan 'paling-
paling temanya begitu'. Sebab, selama ini karya-karya yang ditulis
hanya mengungkap kejamnya majikan sehingga lama-kelamaan akan jenuh
dan tidak menarik lagi," ujarnya.
(FRO)