Post by Jodhi Yudono on Dec 21, 2005 0:05:53 GMT -5
Pak Raden. Itulah tokoh berwatak feodal dalam film boneka Si Unyil yang menenggelamkan nama Drs. R. Suyadi yang ada di balik karakter boneka berkumis yang suka berbahasa campur-campur: Jawa, Indonesia, dan Belanda.
Putra Patih Surabaya di zaman Belanda ini lahir pada 28 November 1932, di Jember, Jawa Timur. Sebagai putra patih, ia dengan mudah menempuh pendidikan hingga lulus di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1960. Sebagai anak ke-tujuh dari sembilan bersaudara, putra Patih (penjabat operasional yang mengatur sebuah pemerintahan kota), ini juga dengan mudah memenuhi kegemarannya menonton film-film Walt Disney.
Dari kegemarannya menonton film-film produk Walt Disney itulah, membuat Suyadi mencintai dunia anak-anak sepanjang hidupnya. Karakter yang kuat dalam tiap tokoh Disney, dinilai Suyadi amat luar biasa. Inilah yang kemudian mengilhami Suyadi membuat karakter-karakter nan kuat pada tiap tokoh yang ada pada film boneka Si Unyil.
Ada tokoh protagonis macam Si Unyil dan Emaknya. Ada tokoh malas seperti Pak Ogah. Dan...tentu saja ada tokoh Pak Raden yang sombong, kikir, pemarah, feodal, dan terkena penyakit encok.
Menurutnya, dengan penokohan yang kuat pada sebuah lakon, membuat tontonan itu tak membosankan. Ia pun lantas memberi contoh tokoh Cakil dalam seni perwayangan. Katanya, kendati tokoh Cakil itu jahat, buruk rupa dan buruk budi, tapi kemunculannya senantiasa dinanti banyak orang. Itulah soal, Suyadi pun mengidolakan tokoh Cakil. Tak genap, katanya, sebuah pertunjukan wayang tanpa kehadiran Cakil yang methakil (lincah).
Ah, tapi Suyadi tentu saja tak selincah Cakil dalam gerak.Tapi soal kreativitas, ia mungkin sepadan dengan Cakil. Liar, nakal, dan penuh enerji.
Sambil berjalan tertatih-tatih ia pun dengan garang memoleskan warna ke kanfas. Tak lama kemudian, ia pindah ke meja lainnya. Kini, tangannya lincah menggambar. Sambil menggambar, ia pun bercerita.
"Bangun Pak, mau kaya kok nggak mau kerja, malah tidur saja," kata Suyadi sambil menulis di bawah gambar yang baru selesai dibuatnya.
"Apa? Kerja? Tak usah ya..." katanya lagi.
Lalu Suyadi pun mengambil kertas kosong lainnya. Digambarinya lagi kertas itu dan diceritakannya kembali isi gambar sambil menulis kalimat di bawahnya.
Begitulah cara Suyadi menulis cerita. Ia menggambar dahulu sebelum menulis. Hasilnya, adalah puluhan buku anak yang enak dibaca sekaligus enak dipandang. “Seribu Kucing untuk Kakek”, Pedagang Peci Kecurian”, Gua Terlarang”, Joko Kendil, Siapa Punya Kuali Panjang”, adalah di antara puluhan judul buku karya-karya Suyadi.
* * *
Pak Suyadi ya Pak Raden. Mengunjungi rumah kontrakannya di Jalan Kebon Nanas I/22 Jakarta Timur, rasanya negeri ini telah berlaku "kejam" kepadanya. Bayangkanlah, orang dengan talenta yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, melukis, menggambar, mendongeng,membuat film, tapi hidupnya masih jauh dari yang disebut makmur.
Tak ada barang mewah di rumah itu. Di ruang tamu cuma tampak pesawat televisi 14 inci. Lampu yang biasanya menerangi wajahnya kala ia merias wajahnya menjadi Pak Raden yang berkumis tebal dengan alis menjulang ke atas itu pun, telah mati. Sementara lampu penerangan di rumah tersebut, memaksa pengguna kamera manual harus menurunkan speed-nya hingga pada angka 2 (dua) saat memotret.
Di rumah kontrakannya yang persis berseberangan dengan pasar tradisional itu, Drs Suyadi tinggal bersama Nanang. Tapi begitulah, kendati ia memiliki seorang pembantu, tampak betul jika rumah tinggal itu tak pernah mendapat sentuhan dari seorang perempuan.
Ya, hingga usia senja, tiada perempuan berada di sampingnya. Barangkali, memang begitulah suratan hidup Suyadi. Secara berseloroh ia bilang, "Saya ini joko tuo sing ora payu rabi (jejaka tua yang tak laku kawin)".
Lihatlah seisi ruangan di rumah itu. Di ruang tamu, ruang makan, kamar, penuh dengan lukisan, sketsa, boneka, kertas yang berserakan, bekas cat, buku-buku, dan...kucing. Yang terakhir ini adalah mahluk "buangan" para tetangga yang sudah bosan dengan hewan piaraan itu.
"Ada sekitar dua puluh, hasil ’sumbangan’ para tetangga," kata Suyadi perihal hewan piaraannya itu.
Katanya, para tetangga itu biasanya mencemplungkan kucing-kucing tersebut melalui pagar rumah tinggalnya. Setelah diberi makan oleh Nanang, maka biasanya kucing-kucing itu betah tinggal di sana, bersama Suyadi dan Nanang.
Seperti tak ada yang berubah dengan Suyadi. Pada usianya yang telah senja, ia masih seperti yang kita kenal lewat tokoh boneka Pak Raden. Enerjik, suka menyanyi lagu Jawa dan Belanda serta mendongeng.
Jika ada yang berubah, kata Suyadi, adalah ukuran badannya yang kian tambun saja. "Beberapa jas yang saya beli dulu, makin lama kancing-kancingnya tidak bisa berfungsi. Terutama di bagian sini," ujar Suyadi sambil menunjuk perutnya yang membuncit.
Perubahan lain, tentu saja pada kesehatannya. Penyakit encok yang dulu sering ia sebut-sebut tatkala memerankan tokoh Pak Raden, belakangan jadi kerap mampir, hingga membuat sulit Suyadi ketika hendak berdiri maupun saat jalan.
Tapi bukan Pak Raden..eh Suyadi jika menyerah pada penyakit. Kendati jalannya terseok-seok karena encok, Suyadi masih terus berkarya. Di rumah, kalau tidak melukis, ya menggambar. Atau membuat boneka-boneka dari bubur kertas. Di lain saat, ia juga kerap diundang ke beberapa tempat untuk mendongeng. Pada 2002, Suyadi terpilih sebagai utusan Indonesia di acara Festival Mendongeng tingkat Internasional yang diselenggarakan di Seatle, Amerika.
Zaman demu zaman telah dilalui oleh Suyadi. Dan pada tiap zaman itu, Suyadi selalu menjumpai dunia anak-anak yang berbeda. Tapi, katanya, kendati berbeda, anak tetaplah anak. Mahluk kecil yang harus disirami dengan kasih sayang. Lewat mendongeng dan buku-buku cerita hasil karyanya itulah, Suyadi menyirami jiwa anak-anak Indonesia.
Pemberian Anugerah Kebudayaan untuk Suyadi pada Senin (19/12) lalu, mudah-mudahan bisa jadi pelipur buat dirinya. Setidaknya, negara masih mengingat jasa-jasanya sebagai tokoh yang begitu tulus mengabdikan seluruh hidupnya buat dunia anak-anak Indonesia.
Penulis: Jodhi Yudono
Putra Patih Surabaya di zaman Belanda ini lahir pada 28 November 1932, di Jember, Jawa Timur. Sebagai putra patih, ia dengan mudah menempuh pendidikan hingga lulus di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1960. Sebagai anak ke-tujuh dari sembilan bersaudara, putra Patih (penjabat operasional yang mengatur sebuah pemerintahan kota), ini juga dengan mudah memenuhi kegemarannya menonton film-film Walt Disney.
Dari kegemarannya menonton film-film produk Walt Disney itulah, membuat Suyadi mencintai dunia anak-anak sepanjang hidupnya. Karakter yang kuat dalam tiap tokoh Disney, dinilai Suyadi amat luar biasa. Inilah yang kemudian mengilhami Suyadi membuat karakter-karakter nan kuat pada tiap tokoh yang ada pada film boneka Si Unyil.
Ada tokoh protagonis macam Si Unyil dan Emaknya. Ada tokoh malas seperti Pak Ogah. Dan...tentu saja ada tokoh Pak Raden yang sombong, kikir, pemarah, feodal, dan terkena penyakit encok.
Menurutnya, dengan penokohan yang kuat pada sebuah lakon, membuat tontonan itu tak membosankan. Ia pun lantas memberi contoh tokoh Cakil dalam seni perwayangan. Katanya, kendati tokoh Cakil itu jahat, buruk rupa dan buruk budi, tapi kemunculannya senantiasa dinanti banyak orang. Itulah soal, Suyadi pun mengidolakan tokoh Cakil. Tak genap, katanya, sebuah pertunjukan wayang tanpa kehadiran Cakil yang methakil (lincah).
Ah, tapi Suyadi tentu saja tak selincah Cakil dalam gerak.Tapi soal kreativitas, ia mungkin sepadan dengan Cakil. Liar, nakal, dan penuh enerji.
Sambil berjalan tertatih-tatih ia pun dengan garang memoleskan warna ke kanfas. Tak lama kemudian, ia pindah ke meja lainnya. Kini, tangannya lincah menggambar. Sambil menggambar, ia pun bercerita.
"Bangun Pak, mau kaya kok nggak mau kerja, malah tidur saja," kata Suyadi sambil menulis di bawah gambar yang baru selesai dibuatnya.
"Apa? Kerja? Tak usah ya..." katanya lagi.
Lalu Suyadi pun mengambil kertas kosong lainnya. Digambarinya lagi kertas itu dan diceritakannya kembali isi gambar sambil menulis kalimat di bawahnya.
Begitulah cara Suyadi menulis cerita. Ia menggambar dahulu sebelum menulis. Hasilnya, adalah puluhan buku anak yang enak dibaca sekaligus enak dipandang. “Seribu Kucing untuk Kakek”, Pedagang Peci Kecurian”, Gua Terlarang”, Joko Kendil, Siapa Punya Kuali Panjang”, adalah di antara puluhan judul buku karya-karya Suyadi.
* * *
Pak Suyadi ya Pak Raden. Mengunjungi rumah kontrakannya di Jalan Kebon Nanas I/22 Jakarta Timur, rasanya negeri ini telah berlaku "kejam" kepadanya. Bayangkanlah, orang dengan talenta yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, melukis, menggambar, mendongeng,membuat film, tapi hidupnya masih jauh dari yang disebut makmur.
Tak ada barang mewah di rumah itu. Di ruang tamu cuma tampak pesawat televisi 14 inci. Lampu yang biasanya menerangi wajahnya kala ia merias wajahnya menjadi Pak Raden yang berkumis tebal dengan alis menjulang ke atas itu pun, telah mati. Sementara lampu penerangan di rumah tersebut, memaksa pengguna kamera manual harus menurunkan speed-nya hingga pada angka 2 (dua) saat memotret.
Di rumah kontrakannya yang persis berseberangan dengan pasar tradisional itu, Drs Suyadi tinggal bersama Nanang. Tapi begitulah, kendati ia memiliki seorang pembantu, tampak betul jika rumah tinggal itu tak pernah mendapat sentuhan dari seorang perempuan.
Ya, hingga usia senja, tiada perempuan berada di sampingnya. Barangkali, memang begitulah suratan hidup Suyadi. Secara berseloroh ia bilang, "Saya ini joko tuo sing ora payu rabi (jejaka tua yang tak laku kawin)".
Lihatlah seisi ruangan di rumah itu. Di ruang tamu, ruang makan, kamar, penuh dengan lukisan, sketsa, boneka, kertas yang berserakan, bekas cat, buku-buku, dan...kucing. Yang terakhir ini adalah mahluk "buangan" para tetangga yang sudah bosan dengan hewan piaraan itu.
"Ada sekitar dua puluh, hasil ’sumbangan’ para tetangga," kata Suyadi perihal hewan piaraannya itu.
Katanya, para tetangga itu biasanya mencemplungkan kucing-kucing tersebut melalui pagar rumah tinggalnya. Setelah diberi makan oleh Nanang, maka biasanya kucing-kucing itu betah tinggal di sana, bersama Suyadi dan Nanang.
Seperti tak ada yang berubah dengan Suyadi. Pada usianya yang telah senja, ia masih seperti yang kita kenal lewat tokoh boneka Pak Raden. Enerjik, suka menyanyi lagu Jawa dan Belanda serta mendongeng.
Jika ada yang berubah, kata Suyadi, adalah ukuran badannya yang kian tambun saja. "Beberapa jas yang saya beli dulu, makin lama kancing-kancingnya tidak bisa berfungsi. Terutama di bagian sini," ujar Suyadi sambil menunjuk perutnya yang membuncit.
Perubahan lain, tentu saja pada kesehatannya. Penyakit encok yang dulu sering ia sebut-sebut tatkala memerankan tokoh Pak Raden, belakangan jadi kerap mampir, hingga membuat sulit Suyadi ketika hendak berdiri maupun saat jalan.
Tapi bukan Pak Raden..eh Suyadi jika menyerah pada penyakit. Kendati jalannya terseok-seok karena encok, Suyadi masih terus berkarya. Di rumah, kalau tidak melukis, ya menggambar. Atau membuat boneka-boneka dari bubur kertas. Di lain saat, ia juga kerap diundang ke beberapa tempat untuk mendongeng. Pada 2002, Suyadi terpilih sebagai utusan Indonesia di acara Festival Mendongeng tingkat Internasional yang diselenggarakan di Seatle, Amerika.
Zaman demu zaman telah dilalui oleh Suyadi. Dan pada tiap zaman itu, Suyadi selalu menjumpai dunia anak-anak yang berbeda. Tapi, katanya, kendati berbeda, anak tetaplah anak. Mahluk kecil yang harus disirami dengan kasih sayang. Lewat mendongeng dan buku-buku cerita hasil karyanya itulah, Suyadi menyirami jiwa anak-anak Indonesia.
Pemberian Anugerah Kebudayaan untuk Suyadi pada Senin (19/12) lalu, mudah-mudahan bisa jadi pelipur buat dirinya. Setidaknya, negara masih mengingat jasa-jasanya sebagai tokoh yang begitu tulus mengabdikan seluruh hidupnya buat dunia anak-anak Indonesia.
Penulis: Jodhi Yudono