Post by Irma Tambunan on Dec 16, 2005 4:06:00 GMT -5
Desa Wisata, Akar Wisata yang Belum Kuat
OlehIrma Tambunan dan Agnes Rita Sulistyawaty
Wajah desa adalah gambar tentang ketergantungan manusia dengan lingkungannya. Namun, kelekatan pada alam dan lingkungan desa itu juga di wilayah Yogyakarta kian hari kian tergerus laju pembangunan yang berpaling pada modernitas versi orang-orang kota.
Di tengah kebimbangan ini, sebagian masyarakat desa berhasil memelihara kekayaan desa sebagai penghidupan bagi mereka.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kamis (24/11) pekan lalu, misalnya, meresmikan desa lestari di Dusun Ngamboh, Desa Margorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman.
Kesediaan Gubernur DIY meresmikan desa lestari dikarenakan kekagumannya atas kesadaran masyarakat setempat untuk mengubah sebuah desa yang kotor dan tak terawat menjadi kebun asri, lengkap dengan kolam ikan yang memanfaatkan aliran sungai.
Sungai itu dulu dipakai warga untuk buang air besar saja. Pohon-pohonan ini juga tumbuh tidak teratur. Sekarang kami mencoba untuk menatanya. Di pojok kebun, ada kamar mandi agar warga tidak buang air besar di sungai. Sungai ini kemudian dipakai sebagai kolam ikan untuk masyarakat, kata Yulianus Sunarto, warga sekaligus penggagas Desa Lestari Ngamboh.
Dengan kondisi desa yang bersih dan tertata sekaligus sebagai konservasi lingkungan maka desa ini secara otomatis menjadi tujuan wisata. Dari situlah penghasilan masyarakat bisa bertambah, di samping penghasilan dari kolam ikan.
Di sinilah konservasi lingkungan pada hakikatnya terwujud, yakni pelestarian lingkungan yang berbasis kesadaran masyarakat dan secara riil dapat meningkatkan pendapatan penduduk.
Desa wisata Kebon Agung di Kabupaten Bantul mengandalkan kesenian gejok lesung, karawitan, atau ketoprak, untuk dijual kepada wisatawan. Kesenian desa juga d**embangkan di Desa Wisata Tanjung di Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman.
Satu dari 29 desa wisata di Kabupaten Sleman ini mempunyai kesenian khas, yaitu pekbung, musik yang berawal dari kebiasaan warga berkumpul dan memainkan alat musik dari bambu.
Selain pekbung, masih ada kesenian lain seperti angguk (tari perang-perangan yang diperankan para perempuan) dan jathilan. Permintaan wisatawan untuk menyaksikan sebuah kesenian berarti pemasukan bagi masyarakat karena wisatawan harus membayar tarif yang sudah ditetapkan. Sebagai sumber penghidupan, kesenian ini dijaga betul oleh masyarakat setempat, antara lain menyiapkan regenerasi senimannya.
Kebon Agung dan Tanjung seperti halnya sebagian besar desa wisata lain yang berbasis pada masyarakat petani menyiapkan sejumlah paket wisata pertanian, seperti membajak, menanam padi, memberi pupuk, panen dengan ani-ani, dan mencangkul.
Kebon Agung mengawali prosesnya sebagai desa wisata pada tahun 1998, disertai apriori sebagian warga karena rendahnya rasa percaya diri pada kekayaan alam di desa mereka. Mereka tidak mau desanya didatangi banyak orang, ujar Kristya Bintara, Koordinator Desa Wisata Kebon Agung.
Penolakan sebagai desa wisata antara lain ditunjukkan lewat tingginya permintaan ganti rugi oleh warga yang pekarangannya terkena pelebaran jalan. Padahal, pekarangan itu merupakan tanah becek.
Namun, saat tamu-tamu mulai berdatangan ke desa wisata ini, masyarakat mulai menyadari peran desa wisata. Mereka melihat tetangga-tetangga mereka mendapat tambahan pendapatan dari penginapan Rp 15.000-Rp 20.000 per tamu per malam.
Sekarang sudah banyak warga yang bergabung sehingga daya tampung homestay semakin besar, tutur Ngatijan (60), Sekretaris Desa Wisata Kebon Agung.
Kepala Seksi Pelayanan Informasi Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul Annihayah mengatakan, dari sekitar 30 lokasi sentra kerajinan di Bantul yang potensial menjadi desa wisata, baru dua desa yang benar-benar telah memiliki sarana kepariwisataan di Bantul, yaitu Desa Krebet dan Kebon Agung.
Ini terlihat dari belum d**embangkannya berbagai atribut, seperti jalan, jaringan dengan agen wisata dan perjalanan, serta paket-paket wisata, ujarnya.
Sedangkan masyarakat di desa-desa lainnya belum sepenuhnya bisa menggali potensi kepariwisataannya. Kecamatan Cangkringan di Sleman, misalnya, memiliki potensi alam dan dua bumi perkemahan besar serta kegiatan warga yang menarik, namun belum bulat sebagai satuan wisata yang utuh.
Karenanya, meski ratusan siswa dari Jakarta, atau pegawai berbagai perusahaan berdatangan ke sana, sejauh ini masih ditangani satu dua orang yang memiliki lahan atau kegiatan wisata yang bisa ditawarkan.
Mbah Maridjan, warga Cangkringan yang sekaligus jadi Juru Kunci Gunung Merapi, misalnya, punya peran sebagai pelestari alam sekaligus duta wisata di daerah paling utara Yogyakarta itu. Di pondoknya, Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, para pendaki gunung selalu beristirahat, berkonsultasi, dan bersiap-siap ke Merapi, dari kediaman Mbah Maridjan ini.
Sing penting omahe kuwi resik. Barang resik niku marai wong pada seneng ning kene (yang penting rumahnya bersih. Barang bersih membuat orang senang ke sini Red), ucapnya.
Pengunjung ke rumah Mbah Maridjan yang sekadar menumpang istirahat atau meminjam ruangan untuk acara tertentu sering memberi uang ala kadarnya untuknya. Uang inilah yang dipakai untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Sebuah ruang pariwisata yang berawal dari kesederhanaan masyarakat desa. Kealamiahan masyarakat dalam mengelola lingkungannya ini sedang terancam ketidakjelasan proyek Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Kampung turis
Di Kota Yogyakarta, perkampungan turis Sosrowijayan (di sebelah selatan Stasiun Tugu) dan Prawirotaman (arah Jalan Parangtritis) kini sebatas bertahan, tak bisa maju. Sebab, turunnya kunjungan turis akibat rangkaian ledakan bom Bali dan kota lain di Indonesia menghancurkan industri wisata Yogyakarta.
Satu cerita muncul dari pemilik hotel melati dan losmen di Sosrowijayan dan Prawirotaman. Karena dianggap tidak prospektif lagi, sekitar 15 hotel melati dan losmen di dua kampung turis itu berganti pemilik. Dijual ke pihak lain.
Menurut Sony, karyawan Hotel Aziatic di Sosrowijayan, itu terjadi karena ketatnya persaingan hotel yang tak diimbangi pertumbuhan pasar wisata. Akibatnya, biaya operasional tak sebanding dengan pemasukan.
Sebagian pemilik losmen lainnya malah mengalihfungsikan losmennya menjadi kos-kosan. Burhanudin (30), karyawan Losmen Gandi di Gang II Sosrowijayan Wetan, menuturkan, sampai saat ini sudah ada tiga losmen di wilayah tersebut berubah menjadi kos-kosan, yakni Losmen Gandi, Losmen Lotus, dan Losmen Setia. Losmen Gandi dialihfungsikan sejak tahun 2004 dengan tarif Rp 150.000 per bulan per kamarnya.
Hal itu terpaksa dilakukan karena jumlah tamu yang menginap terus turun tiap tahun. Dari empat kamar yang ada, tiga kamar sudah dikoskan kepada mahasiswa dan karyawan swasta. Sisanya sengaja dikosongkan untuk berjaga-jaga jikalau ada sanak famili yang datang. Pendapatan dari kos meringankan biaya operasional dan pajak yang harus ditanggung pemilik, kata Burhanudin.
Masa paceklik juga dialami pelaku usaha penukaran uang asing, biro atau agen wisata, dan laundry. Semenjak turis asing kian menghilang, pendapatan mereka juga terus menurun. Menurut Andreas Sudarwin, karyawan biro perjalanan dan tempat penukaran uang (money changer) Kresna di Prawirotaman, transaksi penukaran uang menurun sangat drastis sejak kurun waktu dua tahun terakhir.
Menurut Darwin, transaksi penukaran uang yang dulu mencapai 2.000 dollar AS per hari sekarang hanya di bawah 500 dollar AS per hari. Hal sama terjadi pada penjualan paket wisata. Sekitar dua tahun lalu Darwin mengaku bisa menjual lebih dari 10 paket wisata per hari untuk tujuan domestik dan internasional. Saat ini, jika saya bisa menjual lebih dari dua paket wisata per harinya, itu merupakan angka yang bagus, ujar Darwin.
Di satu sisi, meski kunjungan wisatawan domestik ke Yogyakarta menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya, pelaku usaha pariwisata di kedua kampung turis tersebut masih menganggap keberadaan turis adalah yang paling menguntungkan.
Kalau dilihat dari aspek kontribusi ekonominya, bisa dikatakan satu berbanding sepuluh. Artinya, pengeluaran uang dari sepuluh orang wisatawan domestik sebanding dengan pengeluaran seorang turis asing, kata Edy Suparto (50), Ketua RW Prawirotaman sekaligus pemilik usaha persewaan buku Prawirotaman.
Inilah wajah pariwisata Yogyakarta. Di satu sisi sebuah harapan untuk mempertahankan budaya, sedangkan di sisi lain ada sebuah kehidupannya masih dibiarkan tumbuh dengan sendirinya tanpa bantuan dari pemegang kebijakan. Wajah wisata juga menjadi wajah kebimbangan Yogyakarta.
(boni dwi pramudyanto)