Post by LINDA HOEMAR ABIDIN on Dec 16, 2005 4:01:04 GMT -5
Strategi Kemitraan untuk Kesenian
LINDA HOEMAR ABIDIN
Kehidupan kesenian dan kebudayaan yang sehat adalah faktor yang bisa mempertahankan bahkan meningkatkan perkembangan kegiatan ekonomi. Dari Singapura, kita mendapat penegasan bahwa nilai tambah dari industri yang berbasis kegiatan seni budaya memperlihatkan angka efek pelipatgandaan sebesar 1,66: lebih tinggi dari industri perbankan (1,4) atau industri petrokimia (1,35).
Tulisan ini mengangkat beberapa contoh kemitraan untuk mendukung kesenian yang sudah diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Singapura, dan Jerman. Ada dua pola dasar strategi kemitraan untuk kesenian: melalui subsidi pemerintah dan mekanisme subsidi tak langsung. Contoh strategi yang sangat unik diterapkan di AS yang anggaran dana pemerintahnya untuk kesenian sangat minim. Pemerintah AS secara tak langsung memberi subsidi yang luar biasa besarnya melalui sistem pajak yang mendorong sektor swasta berperan giat mendanai kesenian.
Singapura merupakan contoh negara yang pemerintahnya tak tanggung-tanggung menyubsidi kesenian. Di Jerman kewenangan dan tanggung jawab untuk kebijakan kebudayaan dan implementasinya ada pada tiap-tiap pemerintah daerah atau kota. Prinsip kompetisi merupakan pendorong bagi semua kegiatan seni budaya di Jerman untuk bersaing secara sehat sehingga bagian terbesar anggaran dana kesenian di Jerman berasal dari tiap-tiap pemerintah daerah sebuah contoh sukses kemandirian otonomi daerah.
Kita ketahui bahwa sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu aset besar sebuah negara. Dalam dunia kesenian, SDM merupakan satu-satunya aset. Kesadaran Singapura akan potensi SDM selangkah lebih maju: sumber daya terbesar sebuah negara adalah daya kreatif warganya. Pemerintah Singapura bahkan memiliki rumus khusus untuk mencapai visinya menjadi negara pusat budaya:
A+B+T = CC
atau
Art+Business+Technology = (Creative+Connected) Singapore.
Kelompok kreatif yang terdiri dari SDM di bidang teknologi (technological creativity), ekonomi (economic creativity), dan seni budaya (cultural creativity) saling berkait dan pegang peran kunci dalam perwujudan perekonomian berdasarkan kreativitas.
Penguatan kelompok kreatif melalui, antara lain, sistem pendidikan seni terpadu di sekolah- sekolah di Singapura diyakini mampu membangun keterampilan yang dibutuhkan SDM, seperti berpikir kreatif untuk memecahkan masalah, toleransi, mampu bekerja sama dalam tim, motivasi, dan rasa percaya diri. Oleh karena itu, upaya-upaya penguatan sektor seni budaya melalui kelompok kreatif (seni budaya, desain, dan media) di Singapura merupakan investasi total pihak Pemerintah Singapura demi berdaya saing secara global dan mengangkat Singapura sebagai pusat budaya regional Asia.
Tidak terelakkan, di lembaga kesenian yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah kebanyakan pekerja seni yang berwenang adalah pegawai negeri sipil. Hal ini cenderung menumbuhkan perkubuan: kelompok seni kubu orang dalam dan kubu orang luar. Hasilnya, sering kali kelompok seni yang termasuk kubu orang dalam dapat subsidi, sedangkan kelompok seni dari kubu luar condong terpinggirkan. Itu sebabnya, sistem yang diterapkan di AS menarik untuk dipelajari karena peran pemerintah diimbangi dengan keberadaan begitu banyak lembaga nirlaba atau yayasan untuk seni yang independen. Terlebih lagi, ada insentif pajak yang mendorong keterlibatan masyarakat dan sektor swasta menyumbang demi kebaikan dan peningkatan mutu hidup warga sendiri.
Untuk kepentingan pemerintah, perusahaan, dan donatur perorangan, di negara-negara seperti AS dan Singapura, seperti sudah disampaikan di awal, sering dilakukan studi tentang dampak perekonomian untuk mengukur berapa besar kontribusi kegiatan kesenian dalam perekonomian sebuah daerah. Hasil studi itu berguna meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan akan peran kunci sektor kesenian selain menghadirkan keindahan dan memicu kreativitas yang menghasilkan penemu dan pencipta karya tidak hanya seni tapi juga teknologi dan ekonomi, juga menciptakan banyak sekali lapangan kerja yang secara langsung berkontribusi pada perekonomian. Data kuantitatif tersebut mendukung strategi kemitraan untuk kesenian melalui mekanisme perpajakan.
Watak kesponsoran
Tidak adanya insentif khusus berupa keringanan pajak bagi perusahaan ataupun perorangan yang menyumbangkan sejumlah dana bagi organisasi-organisasi kesenian mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan kesenian di Indonesia. Yang lazim terjadi di Indonesia adalah praktik kesponsoran untuk kesenian di mana perusahaan menyumbangkan sejumlah dana sebagai bagian dari strategi pemasaran produk. Misalnya, logo suatu perusahaan dilihat oleh 1.000 penonton saat pertunjukan. Contoh lain, perusahaan melihat peluang promosi sambil memberi bantuan kepada kelompok seni yang akan mengadakan pertunjukan/pameran berupa sumbangan tidak berupa dana: membantu pencetakan poster, undangan, katalog, atau buku program. Jadi, yang diberikan bukan sumbangan dana yang sifatnya filantropis yang tanpa pamrih.
Keterlibatan perusahaan di Indonesia masih terbatas pada penyelesaian masalah sesaat. Menurut penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Program), 80 persen kegiatan sosial perusahaan di Indonesia bersifat insidental dan sarat muatan promosi. Bahkan, ada kasus komersialisasi kegiatan sosial, misalnya dalam hal jumlah biaya promosi kegiatan jauh lebih besar daripada jumlah bantuan dana yang diberikan. Kebanyakan sumbangan dana sponsor untuk kesenian di Indonesia cenderung bersifat jangka pendek, bukan sebagai peluang kemitraan yang berkelanjutan (berjangka panjang) demi mencapai kepentingan bersama.
Salah satu perbedaan yang jelas terasa adalah penjualan tiket kegiatan kesenian atau pertunjukan. Di luar negeri, tiket tidak d**enai pajak. Di Indonesia, khususnya Jakarta (kecuali di Gedung Kesenian Jakarta dan Graha Bhakti Budaya-TIM), penjualan tiket d**enai pajak tontonan. Sebagai perbandingan, baru-baru ini sebuah koalisi organisasi nirlaba seni di kota New York, Alliance for the Arts, menerbitkan laporan tentang studi penonton di tempat-tempat kegiatan seni budaya yang diadakan pada tahun 2004. Dari 480 organisasi seni nirlaba yang dilibatkan dalam studi itu, 138 yang merespons—mewakili galeri, museum, gedung pertunjukan, tempat pertunjukan alternatif, kelompok seni pertunjukan tradisi maupun kontemporer, sekolah tinggi seni, dan penyelenggara festival seni.
Dalam studi tersebut ditemukan: jumlah penonton acara seni budaya di kota New York mencapai 26 juta orang, yang berarti dua kali lebih banyak daripada penonton teater Broadway ataupun pertandingan olahraga. Temuan ini merupakan argumen yang sangat kuat untuk meyakinkan pemerintah dan swasta akan peran penting kesenian dalam kehidupan masyarakat sebuah kota. Temuan tersebut juga memberi gambaran betapa besar dukungan masyarakat untuk kesenian dengan cara sangat sederhana: datang sebagai penonton. Bahwa tempat- tempat kegiatan seni budaya menarik minat begitu banyak penonton mencerminkan sukses dari tujuan tiap organisasi seni budaya memberi nilai tambah dalam kehidupan masyarakat, memberi pencerahan dalam pendidikan anak-anak, dan menarik pengunjung dan wisatawan ke kota tersebut.
Pengurangan pajak
Di AS praktik pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mencakup setiap jenis layanan publik dijalankan oleh sektor nirlaba, seperti universitas, rumah sakit, perpustakaan, museum, lembaga pendidikan, organisasi sosial dan seni budaya. Kenyataan itu mencerminkan keyakinan nasional (AS) dalam falsafah mereka tentang pluralisme dan betapa pentingnya prakarsa individu dalam masyarakat. Pengaturan sektor nirlaba ini dilakukan di bawah pengawasan badan perpajakan pemerintah yang berwenang memberi status bebas pajak bagi organisasi yang memenuhi kriteria klasifikasi sebagai organisasi nirlaba yang tak hanya bebas pajak, tapi juga sumbangan pada organisasi-organisasi ini dapat diperhitungkan dalam pengurangan pajak.
Misalkan, perusahaan A menyumbangkan dana sejumlah x kepada sebuah organisasi nirlaba kesenian. Maka, pada akhir tahun, perusahaan A berhak mendapat pengurangan pajak. Besar pajak yang dibayarnya y%-x di mana y% adalah pajak yang mesti dibayarnya kalau ia tidak memberi sumbangan untuk kegiatan kesenian. Jadi, untuk berkurangnya setoran pajak ke Departemen Keuangan AS sebesar satu dollar, sektor nirlaba memperoleh tambahan dana langsung dan tidak langsung sebesar antara 90 sen dan 1,40 dollar. Angka ini menunjukkan betapa insentif pajak di AS begitu berperan memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakatnya.
Bagi kelompok seni AS yang menginginkan status bebas pajak, kriteria kualifikasi, peraturan, prosedur pengajuan, dan petunjuk pengisian formulir pengajuan sangat mudah diakses. Ini sebuah contoh transparansi dalam tata laksana organisasi pemerintah. Proses pengajuan ini disentralisasi pada sebuah badan perpajakan Pemerintah AS bernama Internal Revenue Service (IRS) tanpa membedakan jenis dan tujuan organisasi yang mengajukan permintaan. Hanya IRS yang berwenang mengadakan regulasi, akreditasi, dan perizinan, serta menyelenggarakan pengawasan pelaksanaan sektor nirlaba. Birokrasinya tidak rumit.
Sistem ini penting dicatat karena beda dengan praktik di negara lain. Terbanyak terjadi di negara lain: organisasi yang mengajukan permintaan disyaratkan mendekati satu atau lebih kementerian sesuai dengan bidangnya (misalnya kesehatan, pendidikan, lingkungan) untuk mendapatkan status nirlaba bebas pajak. Di Amerika Serikat, organisasi yang mengajukan status bebas pajak tidak perlu mendatangi Departemen Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. Selain itu, pejabat pemerintah di AS tak berwenang campur tangan dalam tata laksana lembaga nirlaba atau seperti membubarkan atau menyerahkan asetnya.
Semangat otonomi
Mekanisme kemitraan untuk kesenian yang diterapkan di Jerman lain lagi. Dengan semboyan Keberagaman dalam Kesatuan, Jerman mengandalkan otonomi pemerintah daerah dan pemerintah daerah khusus kota. Keberagaman berarti tidak ada satu lembaga pusat yang mengoordinasikan kegiatan seni budaya. Hal ini justru mendorong kompetisi sehat antardaerah atau antarkota. Tiap daerah atau kota berlomba dalam aspek kreatif, artistik, dan keuangannya. Kesatuan berarti adanya sebuah jejaring kemitraan informal antara kota, daerah, dan Pemerintah Jerman untuk saling berbagi informasi, saling memperkuat program seni budaya masing- masing. Keberhasilan program seni budaya di tiap daerah atau kota bergantung pada komitmen dan kreativitas departemen kebudayaan tiap pemerintah daerah dan peran aktif masyarakatnya.
Sebagai contoh adalah kota kecil di Jerman, Bayreuth, yang jumlah penduduknya sangat sedikit. Tiap tahun Bayreuth menarik ribuan pengunjung dari dalam dan luar negeri karena Festival Musik Wagner. Kemudian ada juga festival film di Berlin yang mendatangkan pemasukan luar biasa buat perekonomian kota Berlin karena dibanjiri pengunjung dan selebriti internasional. Di Jerman sebuah orkes bisa mendapat subsidi sebesar 80 persen. Bandingkan dengan Pemerintah AS yang hanya memberi subsidi 5 persen bagi segelintir orkes.
Tawaran langkah
Apa yang bisa kita bangun bersama agar terwujud sebuah sistem kemitraan untuk kesenian di Indonesia?
Pertama, perlu ada kesadaran pihak-pihak berkepentingan akan perlunya komitmen memperkuat kesenian Indonesia. Langkah berikutnya, perlu ada pemetaan kebutuhan baik yang bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang yang melibatkan unsur pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba atau yayasan untuk seni, seniman, dan pekerja seni. Kemudian penting dibangun sebuah jejaring antara pekerja seni dan pelaku seni, entah tingkat kota entah tingkat daerah, yang saling berbagi informasi dan bersinergi sehingga fragmentasi, dan kecenderungan untuk bekerja sendiri-sendiri dalam sektor kesenian tidak terjadi. Juga, komunitas kesenian yang bersinergi dengan jejaring di luar sektor kesenian yang memprakarsai penguatan filantropi sebagai bagian dari upaya memperkuat masyarakat sipil melalui penguatan infrastruktur, kapasitas kelembagaan, serta ruang gerak bagi sektor nirlaba dan kegiatan filantropi di Indonesia.
Ada baiknya juga membangun kemitraan untuk meneliti dampak ekonomi demi mengukur kontribusi sektor kesenian kepada perekonomian. Hasil studi ini penting untuk meraih komitmen pemerintah demi terwujudnya sebuah kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan tiap unsur masyarakat di Indonesia.
Tantangan berikutnya adalah menemukan sistem yang paling cocok untuk diterapkan di Indonesia, entah menerapkan salah satu model di negeri yang berhasil entah memadukan model dari beberapa negeri yang berhasil setelah menyesuaikannya dengan keadaan lingkungan dan tabiat orang Indonesia. Potensi filantropi masyarakat Indonesia sangatlah besar. Dari penelitian PIRAC, pada tahun 2001 terkumpul dana lebih dari Rp 115 miliar dari 180 perusahaan bagi 279 kegiatan sosial yang terekam di media massa dan sekitar Rp 1 triliun sumbangan perorangan. Namun, di balik potensi tersebut, masih juga ada penyaluran dana yang tak sampai di tujuan. Adalah tanggung jawab dan kepentingan sektor nirlaba, dalam hal ini dunia kesenian, meraih dan menjaga kepercayaan publik melalui pengelolaan keuangan yang transparan dan bertanggung jawab.
Dalam upaya menemukan strategi kemitraan yang terbaik dan cocok diterapkan di Indonesia, masyarakat seni budaya dituntut memiliki komitmen terhadap akuntabilitas, integritas, dan penghargaan atas keunggulan artistik. Dengan semakin banyak informasi mengenai sektor kesenian dan masyarakat makin terdidik akan peran dan nilai kesenian, diharapkan tercipta sebuah sistem kemitraan yang strategis atas dasar kesetaraan untuk penguatan kesenian di Indonesia sebagai kepentingan bersama.
Dari segi kelimpahan khazanah seni budaya, luas wilayah, dan jumlah penduduk, Indonesia jauh lebih besar dari Malaysia dan Singapura yang digabung jadi satu. Visi seni budayanya? Masing-masing dari Malaysia dan Singapura jauh lebih maju. Ketimpangan itu agaknya bukan karena negara tetangga berkembang terlalu pesat, tetapi justru karena Indonesia yang menolak tumbuh sehat dan terus-menerus menelantarkan potensinya sendiri. Pengakuan atas ketimpangan visi seni budaya dapat menjadi pendorong bagi Indonesia mengejar ketertinggalan yang ia ciptakan sendiri.
Linda Hoemar Abidin Pekerja Seni, Pengajar Manajemen Seni Pertunjukan