|
Post by beny on Nov 30, 2005 4:42:25 GMT -5
"KAPAN SEKOLAH KAMI LEBIH BAIK DARI KANDANG AYAM" oleh Prof. Winarno Surahman.
"Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah. Tanpa sebuah kemunafikan, Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan. Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu. Tidak berhati.
Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir,"
"Bolehkan kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa? Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa? Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?"
"Ketika semua orang menangis, kenapa kami harus tetap tertawa? Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus tetap kelaparan? Bolehkah kami bermimpi di dengar ketika berbicara? Dihargai layaknya manusia? Tidak dihalau ketika bertanya? Tidak mungkin berharap dalam kondisi terburuk,"
"Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah. Terbaca torehan darah kering: Di sini berbaring seorang guru semampu membaca buku usang sambil belajar menahan lapar. Hidup sebulan dengna gaji sehari. Itulah nisan tua sejuta guru tua yang terlupakan oleh sejarah,"
|
|
|
Post by harie insani putra on Dec 4, 2005 1:38:39 GMT -5
gemetar aq bacanya. sungguh menyiratkan nada hidup yang berkehidupan senyatanya. salam harie_ip@yahoo.com
|
|
|
Post by Tabrani Yunis on Dec 16, 2005 4:51:34 GMT -5
Berjanjilah, Nanti Kutagih Janji Wakil Presiden untuk Para Guru
Oleh: Tabrani Yunis
Janji adalah utang. Begitu kata banyak orang. Nah, kalau janji itu utang, konsekuensinya tentu wajib dibayar atau wajib hukumnya untuk ditepati.
Bagaimana kalau saat ini ada janji yang sangat sarat harapan, yang diucapkan oleh seorang pejabat tinggi negara, seperti janji Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla terhadap para guru? Mungkin saja Anda telah membaca berita itu. Namun agar lebih jelas, penulis mengutip ujaran beliau di harian Kompas tanggal 8 Juni 2005. Beliau berjanji untuk mengusahakan memecahkan masalah yang kini dihadapi oleh guru di seluruh Indonesia dengan bertahap selama tiga tahun. Sebuah janji yang cukup menarik bukan?
Ya, cukup menarik dan prospektif. Apalagi selama ini para guru di Tanah Air sangat berharap adanya angin perubahan dalam kehidupan mereka. Namun kalau kita mau melihat ke belakang, pada pengalaman empiris, janji Wapres untuk memperbaiki nasib guru sebaiknya tidak perlu terlalu diharapkan.
Karena sesungguhnya janji-janji seperti ini hanyalah sebuah komoditas politik. Maka, wajar kalau janji ini mungkin hanya laku bagi para guru yang masih berstatus honorer atau guru bantu yang hidup masih sangat prihatin. Sementara bagi guru yang sudah lama memakan janji-janji pemerintah seperti ini, bisa secara spontan berkata, â€Ini janji yang tidak terlalu penting untuk ditanggapi karena hanya akan melukai hati saja. Kita tidak perlu terlalu berharap.†Ini mungkin sebuah sikap pesimistis yang muncul pada diri guru. Namun, inilah realitas yang ada.
Sikap pesimistis ini muncul sebenarnya cukup beralasan. Selama ini sudah sangat banyak orang yang mengulas dan mengkritisi tentang elegi kehidupan guru. Ulasan-ulasan itu ada di berbagai kegiatan dan media. Namun, mengapa masalah guru tetap saja tak kunjung selesai? Apakah persoalan guru sebuah teka-teki yang sulit untuk dicari jawabannya? Atau ada banyak kesalahan para pengelola pendidikan di negara ini dalam menangani masalah guru selama ini?
Salah urus
Agaknya kita kita tidak perlu sungkan untuk mengakui bahwa selama ini pemerintah memang salah urus terhadap guru. Pemerintah, khususnya para birokrat yang mengurus masalah pendidikan dan masalah guru di Indonesia, sebenarnya tidak memahami masalah apa yang sesungguhnya dihadapi para guru.
Pemerintah cenderung membuat hipotesa yang salah. Melihat masalah guru dari sudut pandang mereka sendiri. Pemerintah masih meraba-raba tanpa arah dalam memperbaiki nasib guru di Indonesia. Perbaikan kualitas guru, misalnya, tidak lebih dari sekadar proyek bagi para birokrat pendidikan. Alhasil, perbaikan profesionalitas guru dan profesinya tidak pernah mampu mengatasi masalah guru. Apalagi dalam hal perbaikan tersebut tidak pernah melibatkan guru secara aktif. Akibatnya, hipotesa dan analisis terhadap guru menjadi keliru. Kalau hipotesa dan analisis salah, maka hasilnya juga salah.
Kita bisa simak janji Wapres untuk mengatasi masalah guru di Indonesia. Tanpa memahami benar apa masalah guru, Jusuf Kalla ingin menyelesaikan masalah guru dalam waktu tiga tahun. Menurut beliau ada tiga masalah guru yang akan diselesaikan. Pertama, masalah guru bantu. Kedua, masalah kualitas dan profesionalitas guru yang rendah. Ketiga, soal tingkat kesejahteraan guru yang masih jauh dari garis kesejahteraan. Benarkah ini masalah guru?
Jawabnya: benar. Namun ini masalah umum. Lalu pahamkah mereka dengan masalah dasar yang menyelimuti guru? Jawabannya: tidak!
Ketidakpahaman itu juga terlihat pada pernyataan Ketua PB PGRI Muhammad Surya. Menurut dia, ada lima masalah yang dihadapi guru. Pertama, jumlah guru yang kurang, Kedua, masalah mutu guru. Ketiga, soal distribusi guru. Keempat, soal kesejahteraan guru yang masih jauh dari cukup. Kelima, menyangkut masalah manajemen pengangkatan guru.
Pertanyaan yang sama kita tanyakan, apakah ini masalah yang dihadapi para guru di Indonesia? Bisa jadi, masalah yang dihadapi guru memang banyak. Namun, tahukah para pembuat kebijakan di Tanah Air, apa akar masalah yang membuat kualitas, profesionalitas, dan tingkat kesejahteraan guru di Indonesia itu rendah? Kalau memang mereka tahu, pasti masalah itu sudah dapat diatasi sejak dahulu. Sebuah pertanyaan sederhana yang perlu kita lemparkan adalah bagaimana kita bisa mengatasi masalah guru kalau kita tidak mengetahui akar masalah yang menyelimuti kehidupan para guru di Indonesia?
Tidak menghargai guru
Setuju atau tidak, sebenarnya kita adalah bangsa yang sangat durhaka pada guru. Dikatakan demikian karena kita tidak pernah bisa menghargai guru secara layak.
Guru sering kali diperlakukan tidak etis. Kita cenderung membunuh hak otonom sang guru. Guru dijejali dengan doktrin-doktrin yang membeo sehingga sikap kritis guru terbenam. Padahal, sikap kritis dibutuhkan untuk melahirkan anak didik yang kritis.
Kita cenderung membungkam partisipasi aktif para guru untuk mengembangkan pendidikan di Tanah Air sehingga guru tidak pernah dilibatkan dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri. Padahal, yang bisa tahu masalah yang dirasakan dan dihadapi guru pada hakikatnya adalah guru sendiri.
Pertanyaannya, pernahkah para guru diajak mengidentifikasi masalah mereka sendiri? Pernahkah guru dilibatkan untuk menganalisis masalah yang mereka hadapi? Pernahkah guru diajak merencanakan program secara partisipatif? Jawabnya, pasti tidak pernah. Bila guru tidak pernah dilibatkan secara partisipatif dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri, berarti peran guru dalam membangun bangsa ini tidak dihargai secara wajar. Ini pula salah satu wujud betapa guru tidak dihargai.
Rendahnya penghargaan pemerintah terhadap guru juga terindikasi pada kecilnya komitmen pemerintah untuk memperbaiki nasib guru dan profesi guru. Tidak adanya sistem reward dan punishment yang tepat terhadap guru, juga sebuah bentuk kehilangan apresiasi terhadap guru.
Wujud ketidakpedulian dan matinya solidaritas terhadap guru juga semakin kental dan terpancar pada sikap kita terhadap guru di daerah bencana tsunami di Aceh. Gempa dan gelombang tsunami yang memorakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi sebuah alat ukur untuk melihat seberapa pedulikah kita terhadap guru.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh yang berdampak sangat buruk itu telah menyebabkan penderitaan yang pedih bagi guru korban tsunami di Aceh. Di tengah kekurangan tenaga guru di Aceh, ribuan guru hilang dan meninggal. Ribuan guru pula kehilangan harta benda, kehilangan anak, istri, serta sanak famili.
Guru yang selamat harus memulai hidup dari lubang penderitaan. Mereka harus hidup (tinggal) di tenda-tenda dan di barak pengungsian yang letaknya jauh dari sekolah tempat mereka bertugas. Sedihnya, dalam kondisi mereka yang masih trauma, mereka harus menjalankan tugas sebagaimana layaknya pada masa sebelum tsunami. Saat mereka dalam kondisi sulit seperti ini, di mana mereka harus memulihkan dan menyembuhkan diri dari trauma dan kesusahan, harus mengajar dengan fasilitas hidup yang sudah punah.
Sayangnya, sudah menderita begini, tidak ada pula pihak yang mau peduli dengan nasib mereka. Tidak ada bantuan yang layak mereka dapatkan. Konon ada bantuan sebesar Rp 250.000 dari Dinas Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi perlakuan bantuan itu sangat melecehkan guru. Bukan hanya pemerintah yang buta hati terhadap guru, tetapi juga PGRI yang katanya sebagai induk organisasi guru. Masyarakat? Juga tidak jauh berbeda.
Agaknya, kalau kita ingin lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air memiliki kualitas yang baik dan bagus, tidak ada cara lain kecuali dengan berupaya â€menghargai guruâ€. Sebagus apa pun sekolah yang dibangun, seindah apa pun fasilitas dimiliki sekolah-sekolah kita, tidak akan ada artinya bila tidak d**elola oleh guru-guru yang berkualitas. Untuk memperbaiki kualitas guru, tidak cukup hanya dengan janji. Karena janji bisa hanya tinggal janji. Oleh sebab itu, jangan pernah berjanji kalau tidak bisa menepati. Jangan pula pernah berjanji kalau tidak mau ditagih dan jangan pernah berjanji kalau hanya melahirkan rasa sakit hati. Atau berjanjilah, nanti akan ditagih.
Tabrani Yunis, Direktur Center of Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
|
|
|
Post by Justin L Wejak on Dec 16, 2005 4:57:56 GMT -5
Guru Terima Kasih Oleh: Justin L Wejak
Dengan nada kecewa sekaligus pasrah, seorang ibu guru berpengalaman dan berkualifikasi di sebuah kampung di Lembata, Nusa Tenggara Timur, baru-baru ini berkata,Saya guru bantu di sekolah dasar. Gaji saya adalah terima kasih.
Dengan nada setengah bercanda tetapi prihatin, saya menjawab, Syukurlah Bu bahwa ada terima kasih, jika tidak Ibu terima apa? Dalam hati kecil, saya berbisik barangkali si ibu ini adalah guru terima kasih, a thank you teacher.
Saya tidak begitu kaget mendengar keluh kesah si ibu guru itu. Berkarya tanpa upah memadai sebagai seorang pengajar, apalagi guru SD di kampung- kampung di kawasan itu, bukan hal baru. Belakangan ini, di NTT ada kebijakan dinas pendidikan provinsi mempekerjakan guru-guru kontrak di sekolah-sekolah dengan patokan tingkat gaji lebih kurang sama dengan guru lokal ber-NIP. Entahlah berapa, dan pasti tidak seberapa. Yang memprihatinkan adalah upah tidak seberapa itu sering tertunda pembayarannya oleh instansi pendidikan daerah untuk alasan-alasan yang tampak sengaja diperkabur. Guru-guru kontrak ini adalah mereka yang terpaksa menonaktifkan diri karena berbagai alasan di luar kontrol mereka sendiri, termasuk rendahnya upah yang sering mandek pembayarannya.
Ini gambaran realitas nasib pengajar di NTT pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mereka bekerja keras seperti para pekerja dalam bidang industri lain, tetapi tidak mendapat imbalan setimpal.
Sering terdengar ucapan bangga para pejabat di dinas- dinas pemerintahan yang menerima bonus alias uang jalan ketika menghadiri pertemuan atau sidang di tempat-tempat lain. Sementara para guru merasa tidak mendapat sesen pun ketika harus menghadiri rapat-rapat serupa. Di sini kesetaraan (equality) memang patut dan harus dipertanyakan ketika privilese masih dibiarkan merajalela.
The Age, salah satu koran harian ternama di Australia, baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel opini yang menarik berjudul: â€Teaching for profit will attract and keep more talented teachers†(8/9, hal 15). Artikel itu ditulis Ross Farrelly, seorang pendidik dan penulis kawakan.
Ia, Farrelly, berkeyakinan bahwa para pengajar seharusnya digaji menurut merit atau kualitas mereka untuk memberikan yang terbaik bagi para pelajar supaya berprestasi. Bukan hanya itu, dari judul tulisannya jelas Farrelly percaya bahwa mengajar untuk profit finansial akan memikat dan mengikat para pengajar berbakat, yang notabene mampu menyiapkan dan menyajikan materi pengajaran secara efektif, efisien berdialog dan memiliki keterampilan-keterampilan lain yang relevan dengan tugas mengajar itu.
Dalam konteks Indonesia, hipotesis Farrelly itu diharapkan dapat menyentil pemikiran tuntas pihak-pihak berkepentingan, termasuk para pembuat kebijakan dan peraturan dari lembaga-lembaga atau departemen pendidikan. Bukankah sudah saatnya kini slogan â€guru, pahlawan tanpa namaâ€, diubah menjadi â€guru, pahlawan dengan nama?†Dalam masyarakat kapitalis, guru bernama kalau beruang.
Gaji para pengajar yang d**eluhkan merayap di tanah barangkali perlu ditinjau kembali dalam terang hipotesis Farrelly. Pikatlah dan ikatlah para pengajar berbobot dengan gaji memadai untuk mendidik anak-anak didik supaya berprestasi. Prestasi pengajar dan anak didik adalah saham berharga untuk masa depan negeri ini, yang terkadang tampak linglung dan kikuk dihempas berbagai persoalan ekonomi dan politik.
Pengajar altruistik
Menarik, Farrelly memulai tulisannya dengan ilustrasi film Perancis, Etre et Avoir (To Be and To Have). Film itu tentang seorang pengajar yang tanpa pamrih mengabdikan dirinya bagi sekelompok kecil anak-anak didik di sebuah sekolah desa terpencil. Film itu tidak memiliki alur cerita yang rapi, sedikit pewatakan, dan berpusat pada bagaimana sang guru yang dengan ramah, penuh pengabdian, dan kasih memenuhi kebutuhan anak-anak hiperaktif. Anak hiperaktif dalam film itu digambarkan sebagai anak yang haus akan kasih dan perhatian.
Menurut Farrelly, film itu membersitkan konsep ideal masyarakat tentang seorang pengajar: sabar, penuh pengertian, dan memusatkan anak didik. Betul, anak didik adalah pusat, bukan pengajar, sekurang-kurangnya menurut filosofi pendidikan. Indahnya filosofi itu ternyata meminggirkan kebutuhan material para pengajar. Pendapatan tidak seimbang dengan jasa mereka. Secara ekonomis, para pengajar adalah juga pusat dalam proses pendidikan itu. Yang dididik dan yang mendidik adalah pihak-pihak yang sama-sama berkepentingan, walau kepentingan mereka tidak sama.
Tambahan pula, menurut Farrelly, gagasan kuat tentang pengajar yang altruistik, yakni mengabdi hanya demi kebaikan orang lain, demi kasih kepada anak-anak didik dan demi kesejahteraan masyarakat, membuat orang hampir tidak rela paham tentang gagasan pendidikan sebagai profit. Tidak perlu tidak etis dan tidak sah, pendapatan finansial menjadi motivasi mengajar seorang pengajar. Dambaan dan keinginan masyarakat akan seorang pengajar yang altruistik kurang realistis dalam konteks kehidupan zaman mutakhir kini, yang segalanya dan semuanya dikapitalkan.
Bukan saja konsepsi pengajar altruistik itu tidak realistis, tetapi pengajar altruistik itu tidak ada dan tidak boleh ada. Siapa yang memberi makan kepada para pengajar jikalau mereka sekadar guru, pahlawan tanpa nama (tanpa uang), kalau mereka sekadar menerima ucapan terima kasih?' Para pengajar bukan para pastor Katolik di paroki-paroki di kawasan NTT, misalnya, yang mungkin berkarya tanpa upah, tetapi masih paling kurang diberi makan oleh umat parokinya.
Dalam terang hipotesis Farrelly, adalah etis dan sah meninjau kembali sistem penggajian para pengajar di Indonesia. Jumlah gaji tidak hanya dinaikkan tetapi juga agar gaji dibayar pada waktunya. Ini bukan hanya untuk memikat dan mengikat para pengajar yang berbakat, seperti dalam hipotesis Farrelly, tetapi juga untuk meningkatkan rasa keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.
Farrelly tegas mengimbau agar mitos pengajar altruistik dihilangkan untuk menjaring tenaga pengajar berbobot. Selagi mitos ini dibiarkan hidup, menurutnya, isu fundamental tentang pendidikan, yaitu mutu pengajar dan pengajaran, dibiarkan tidak tersentuh. Tentu saja imbauan Farrelly ini harus dibaca dalam konteks Australia, tetapi relevansi imbauannya masih bergema dalam konteks Indonesia.
Singkat kata, patokan gaji para pengajar sebaiknya disesuaikan dengan patokan gaji dalam bidang-bidang industri lain, seperti teknologi informasi dan sektor-sektor keuangan. Ini jawaban krusial terhadap persaingan tanpa akhir dalam dan antara semua bidang industri yang berlomba-lomba merekrut tenaga-tenaga terampil. Jika kalah bersaing, bidang industri pendidikan akan dininabobokkan dan menjadi sebuah ruang yang hampa pengajar bermutu.
Memang, kecemasan Farrelly bukan tanpa dasar. Ia merujuk pada data Biro Statistik Australia yang memberikan sinyal bahwa Negeri Kanguru ini akan mengalami kekurangan tenaga pengajar berpengalaman dan berkualifikasi dalam beberapa tahun mendatang. Mengapa? Ada beberapa faktor penyebab.
Pertama, jumlah penduduk Australia yang kini kurang lebih 20 juta jiwa ternyata tidak mengindikasikan pertambahan yang berarti setelah lima tahun mendatang.
Kedua, dalam perbandingan dengan bidang-bidang industri lain di Australia, bidang pendidikan mempekerjakan paling banyak guru yang berusia relatif "tua" selama tahun 2003-2004. Menurut data statistik, 47 persen guru-guru sekolah saat ini di Australia berusia 45-64 tahun.
Ketiga, adanya persepsi negatif di kalangan publik Australia bahwa bidang pendidikan kurang canggih (unglamorous) karena gaji rendah, dan bahwa para calon guru tidak harus berbakat tinggi atau pandai secara intelektual dan/atau akademis.
Menanggapi faktor penyebab kedua dan ketiga, Farrelly mengusulkan satu pemecahan tunggal, yakni menjadikan pendidikan sebagai bidang yang berorientasi dan dimotori profit. Menurutnya, ini akan menciptakan peluang kompetisi yang sehat antara semua bidang industri. Persepsi negatif tentang industri pendidikan sekolah sebagai kumpulan "orang-orang terbuang" atau "tidak laku" dalam industri lain pun dapat berangsur-angsur ditinggalkan. Penghasilan memadai dapat berdaya pikat dan mengikat bagi siapa pun yang ingin dan tengah bergelut dalam bidang pendidikan.
Hipotesis Farrelly mengumpan wacana dan tanggapan. Sebagaimana lumrah dalam sebuah perdebatan gagasan, ada yang setuju dan ada yang meragukan, ada pula yang kurang pasti.
Dalam konteks Indonesia, mudah-mudahan imbalan jasa para pengajar ditinjau kembali, dengan harapan menjaring tenaga-tenaga didik baru yang berbobot dan mempertahankan para pengajar yang sedang mengabdi, demi masa depan anak-anak didik di negeri ini.
Mengucapkan terima kasih kepada para pendidik tentu sangat dihargai, tetapi tidak cukup. Sayang, terima kasih tidak dapat melepaskan rasa lapar dan haus. "Terima kasih, guru," tidak sama dengan "guru terima kasih". Semoga tulisan ini menyentil wacana.
Justin L Wejak, Pengajar Bahasa dan Kebudayaan Indonesia di Asia Institute, The University of Melbourne, Victoria, Australia.
|
|
|
Post by nar on Dec 16, 2005 5:02:08 GMT -5
Guru Perlu Jaminan Otonomi Profesi
Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Guru dan Dosen, Kamis (22/9) lalu berlangsung rapat dengar pendapat umum antara Komisi X DPR dengan organisasi profesi guru dan sejumlah organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan.
Organisasi yang dimaksud adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin, terwacanakan perlunya otonomi profesi guru dijamin dalam UU kelak. Otonomi yang dimaksud antara lain dalam hal penyiapan bahan ajar, proses belajar-mengajar, pembimbingan, dan evaluasi hasil belajar.
Jangan sampai guru menjadi kepanjangan tangan birokrasi yang sekadar menjalankan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan, ujar Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PGRI Mohamad Surya.
Ia juga menegaskan bahwa guru tak hanya berfungsi dalam transfer ilmu tetapi juga dalam transfer nilai. Oleh karena itu, guru harus memberi contoh dalam perilaku, kepribadian, dan nilai-nilai budaya.
Secara khusus, Surya juga menekankan bahwa Pengurus Besar PGRI selama ini tidak pernah menyatakan setuju terhadap penamaan RUU Guru dan Dosen, seperti yang sudah telanjur diusulkan oleh DPR. Sesuai amanat Kongres PGRI di Bandung tahun 1998 dan Semarang (2003), PGRI lebih setuju jika nasib guru diatur dalam UU tersendiri dengan nama UU Guru.
|
|
|
Post by nani on Dec 16, 2005 5:04:25 GMT -5
Jepang Tawarkan Beasiswa bagi Guru
Pemerintah Jepang melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi (Monbukagakusho) menawarkan beasiswa kepada guru warga negara Indonesia untuk memperdalam suatu disiplin ilmu di Jepang. Pemerintah Jepang siap membiayai ongkos studi nongelar selama satu setengah tahun, termasuk enam bulan belajar bahasa Jepang. Siaran pers dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta yang diterima Jumat (23/9), menyebutkan bahwa beasiswa tersebut efektif berlaku tahun akademi 2006. Pelamar berusia kurang dari 35 tahun pada 11 April 2006; lulusan S1 atau D4; aktif mengajar di SD, SMP, SLTA; dan minimal 5 tahun mengajar di lembaga pendidikan formal. Keterangan selengkapnya bisa diperoleh di Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, telepon (021) 31924308 pesawat 175 dan 176. Bisa juga melalui Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya, Medan, dan Makassar. Lamaran harus diserahkan langsung sebelum 31 Januari 2006. (NAR)
Penulisan Naskah Drama Berbasis Cerpen
Guna merangsang tumbuhnya penulis naskah drama, Taman Budaya Yogyakarta menyelenggarakan Lomba Penulisan Naskah Drama. Naskah yang boleh disertakan dalam lomba ini ditulis berdasarkan 11 cerpen yang sudah ditentukan oleh panitia. Ke-11 cerpen tersebut adalah Kang Sarpin Minta d**ebiri (Ahmad Tohari), Pispot (Hamsad Rangkuti), Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku (Emha Ainun Nadjib), Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Umar Kayam), Darah Itu Merah, Jenderal (Seno Gumira Ajidarma), Baju (Ratna Indraswari Ibrahim), Rahim (Cok Sawitri), Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (Kuntowijoyo), Liang (Indra Tranggono), Setangkai Mawar Merah untuk Abimanyu (Rahajeng Titisari), dan Dorrr (Yanusa Nugroho). Naskah sepanjang 20-25 halaman itu paling lambat dikirim 5 November 2005 ke Panitia Lomba Naskah Drama, Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No 1 Yogyakarta. Keterangan lebih lanjut di telepon (0274) 561914 atau e-mail rastri_rini@telkom.net. (*/ken)
Empat Perpustakaan Menyatu dalam Situs
Yayasan Aksara, Freedom Institute, Centre for the Strategic and International Studies (CSIS), dan Perpustakaan Utan Kayu, bergabung membangun sebuah situs (website) perpustakaan. Situs Pustaka Bersama (www.pustakabersama.net) itu diluncurkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis (22/9). Pada tahap awal, Pustaka Bersama menyediakan katalog dari koleksi buku keempat perpustakaan yang dapat diakses secara terbuka. Pustaka Bersama memudahkan pembaca untuk mengetahui di mana dan bagaimana mendapatkan buku yang dibutuhkan
|
|
|
Post by Respati96 on Dec 29, 2005 5:32:53 GMT -5
Masih teringat samar-samar olehku bagaimana aku dididik oleh para guruku. Mereka mengajarkanku bagaimana untuk melihat kehidupan ini dengan kerangka yang berbeda-beda.
Sewaktu masih lucu postur tubuhku, ibu Ati bagaikan Ibu Kartiniku. Ia seperti induk ayam yang membimbing kami anak-anak muridnya agar selalu berbaris rapi. Terkadang aku takut kepadanya jika ditunjuk untuk memimpin doa saat sarapan tiba. Ia sosok wanita tegas pertama yang aku kenal dalam masa taman kanak-kanakku. Ketegasan yang dibangun dengan ancaman pikirku, disiplin menurut mereka.
Menginjak Sekolah Dasar, Ibu Yati menjadi faforitku. Walaupun hitam ia tetap terlihat manis. Mungkin karena selalu tersenyum maka ia selalu menenangkan hatiku. Darinya aku mewarisi sifat untuk mudah tersenyum. Kehidupan akan jauh menjadi lebih indah dan damai bila lebih banyak senyuman, bukan?
Ketika mengenyam pendidikan tingkat pertama aku masuk dalam sekolah yang bernuansa islami. Disini para wanitanya memakai kerudung sehingga sulit membedakan satu dengan lainnya. Pak Agus tampil sebagai tokoh guru yang ditakuti. Dengannya pelajaran bahasa Indonesia bisa sesulit pelajaran fisika. Kugelari ia sebagai sipil yang militer. Mencubit sudah menjadi senjata pamungkasnya bila kita tidak lekas pandai.
Memasuki SMA variasi guruku lebih kaya. Namun pada dasarnya tetaplah sama. Guru yang baik dan guru yang menggojlok emosi. Hukuman yang diterima pun sudah meningkat, tidak lagi fisik melainkan juga mental. Paradoks kehidupan sering aku jumpai di masa ini. Bagaimana kita tertawa ketika melihat teman yang dihukum. Sepertinya siksaan seseorang menjadi hiburan tersendiri bagi yang lain.
Ibu Elizabeth merupakan aktivis wanita yang paling rajin memeriksa rambut dan kuku para pria. Biasanya sebulan sekali pasti ada aksi gratis pemotongan rambut yang tidak bermode. Jauh sekali dari nilai seni dan estetika, protesku. Kebijakan sepele seperti ini kalau dihayati lebih dalam merupakan refleksi perilaku sosial yang perlu dibenahi. Intinya, maksud baik selalu pupus menjadi tujuan yang dipandang negatif. Tidak efektif istilah manajemennya.
Lulus SMA aku masih merasa kosong, tidak mengerti kemana untuk mengarahkan jalan hidupku. Seakan12 tahun program pembelajaran yang dicanangkan pemerintah tidak berhasil memberikan dasar dalam merancang dan memaknai hidup.
Mungkin rasa kekhawatiran inilah yang kulihat dari raut muka guru-guruku ketika melepaskan kelulusan kami. Meriahnya suasana kelulusan melupakan kami untuk segera memikirkan langkah selanjutnya.
Adakah rasa berdosa yang menghantui mereka terhadap masa depan kami, masa depan bangsa dan negeri ini?
Aku bisa merasakan kekhawatiran itu….
Guru merupakan manusia yang berani memikul tanggung jawab besar atas evolusi kemanusiaan. Maju mundurnya suatu bangsa tidak terlepas dari kinerja dan pengorbanan mereka…..
Suatu saat nanti akan aku rangkum semua jerih payah kalian yang telah membentuk , mendidik dan mendewasakanku. Akan aku teruskan keprihatinan kalian untuk kemajuan masyarakat negeri ini…….
Terima kasihku untuk mu ya guru-guruku…..
Doakan aku untuk mengikuti pengorbananmu….
-res- http://www.res96.blogspot@com
|
|
|
Post by Tabrani Yunis on Feb 16, 2007 10:23:38 GMT -5
Jepang Tawarkan Beasiswa bagi Guru Pemerintah Jepang melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi (Monbukagakusho) menawarkan beasiswa kepada guru warga negara Indonesia untuk memperdalam suatu disiplin ilmu di Jepang. Pemerintah Jepang siap membiayai ongkos studi nongelar selama satu setengah tahun, termasuk enam bulan belajar bahasa Jepang. Siaran pers dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta yang diterima Jumat (23/9), menyebutkan bahwa beasiswa tersebut efektif berlaku tahun akademi 2006. Pelamar berusia kurang dari 35 tahun pada 11 April 2006; lulusan S1 atau D4; aktif mengajar di SD, SMP, SLTA; dan minimal 5 tahun mengajar di lembaga pendidikan formal. Keterangan selengkapnya bisa diperoleh di Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, telepon (021) 31924308 pesawat 175 dan 176. Bisa juga melalui Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya, Medan, dan Makassar. Lamaran harus diserahkan langsung sebelum 31 Januari 2006. (NAR) Penulisan Naskah Drama Berbasis Cerpen Guna merangsang tumbuhnya penulis naskah drama, Taman Budaya Yogyakarta menyelenggarakan Lomba Penulisan Naskah Drama. Naskah yang boleh disertakan dalam lomba ini ditulis berdasarkan 11 cerpen yang sudah ditentukan oleh panitia. Ke-11 cerpen tersebut adalah Kang Sarpin Minta d**ebiri (Ahmad Tohari), Pispot (Hamsad Rangkuti), Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku (Emha Ainun Nadjib), Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Umar Kayam), Darah Itu Merah, Jenderal (Seno Gumira Ajidarma), Baju (Ratna Indraswari Ibrahim), Rahim (Cok Sawitri), Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (Kuntowijoyo), Liang (Indra Tranggono), Setangkai Mawar Merah untuk Abimanyu (Rahajeng Titisari), dan Dorrr (Yanusa Nugroho). Naskah sepanjang 20-25 halaman itu paling lambat dikirim 5 November 2005 ke Panitia Lomba Naskah Drama, Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No 1 Yogyakarta. Keterangan lebih lanjut di telepon (0274) 561914 atau e-mail rastri_rini@telkom.net. (*/ken) Empat Perpustakaan Menyatu dalam Situs Yayasan Aksara, Freedom Institute, Centre for the Strategic and International Studies (CSIS), dan Perpustakaan Utan Kayu, bergabung membangun sebuah situs (website) perpustakaan. Situs Pustaka Bersama (www.pustakabersama.net) itu diluncurkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis (22/9). Pada tahap awal, Pustaka Bersama menyediakan katalog dari koleksi buku keempat perpustakaan yang dapat diakses secara terbuka. Pustaka Bersama memudahkan pembaca untuk mengetahui di mana dan bagaimana mendapatkan buku yang dibutuhkan
|
|
|
Post by wowposter on Nov 14, 2008 7:58:50 GMT -5
|
|