Post by pir on Nov 30, 2005 5:07:05 GMT -5
Fajar Menjelang…
By
Pir Owners
By
Pir Owners
Matahari sudah hampir enam jam kembali ke peraduannya. Dinginnya udara malam pun mulai merasuki rusuk ini. Namun, seolah memiliki daging yang kebal rasa. Ribuan manusia masih saja berkeliaran. Suasana hiruk pikuk masih saja terasa di pelabuhan ini. Tuut…Tuut…Tuut…terdengar aba-aba dari dermaga 1. Kapal Windu K. Pratama siap menerjang dinginnya selat sunda menuju Bakaheuni.
Sontak saja ini mengecewakan ribuan anak adam yang akan mudik. Mereka telah berjejalan dari pukul 10 malam. Sungguh sial, mereka pun harus berlapang dada lagi naik kapal berikutnya. Tampak jelas oleh ku kerutan kekecewaan di wajah pemudik ini. Mereka harus menunggu minimal untuk setengah jam ke depan. Peluh pun tampak tak tertahankan di kening mereka. Seolah angin malam pelabuhan terasa kurang kuat memberikan kesejukan.
Terpapar jelas dalam pandanganku tidak kurang dari dua ribu pemudik mengantri kapal berikutnya: Kapal Nusa Jaya-di dermaga 1 ini. Mereka berjejer dalam koridor jembatan yang berukuran lebar hanya satu setengah meter ini. Ada ibu-ibu paruh baya yang setia menggendong bayi mungilnya. Sementara di kedua tangan ibu itu tetap membopoh tas besar yang berwarna merah dan hitam.
Tiba-tiba muncul rasa was-wasku. “Rentan sekali ibu ini menjadi sasaran si tangan panjang”, lirih batin ku. Betapa tidak, masih jelas dalam benakku peristiwa tadi malam di pos polisi KP3 Merak. Seorang pemudik asal bandung yang hendak ke Lampung timur melaporkan bahwa ia telah kecopetan. Malang baginya, uang kiriman orang tuanya sebesar satu juta empat ratus ribu rupiah pun harus amblas. Dengan wajah memelas ia pun meminta pertolongan polisi setempat untuk bisa sampai ke rumah orang tuanya. Polisi pun dengan sigap mendata si pemudik itu. Ia menanyakan nama lengkap, usia, pekerjaan, alamat, dan kronologis ceritanya. Begitu juga aku. Segera saja ku tuliskan informasi tentang kejadian yang dituturkan oleh Ahyadi, begitu pengakuan si pemudik akan nama aslinya. Sementara temanku sibuk mengabadikan kesedihan Ahyadi dengan kamera PD 170-nya. Kronologis ini penting untuk siaran ku jam enam nanti pagi.
Entah kenapa, produserku meloloskan berita-berita seperti yang dialami Ahyadi ini untuk d**etahui penonton. “Penonton itu sukanya berita-berita kriminal. Apalagi kalau ada darah-darahnya…”, jelas produserku ketika pertama kali aku ditraining sebagai reporter di salah satu stasiun tv swasta yang dimiliki oleh pengusaha yang memiliki kedekatan hubungan dengan wakil presiden RI ini. Ya..jadilah Ahyadi tertimpa sial dua kali lipat. Sekali kecopetan. Ke dua kali ia menjadi korban peliputanku.
Kapal Nusa Jaya telah merapat. Dan, beribu penumpangnya pun berhamburan masuk ke dalam. Demikian juga dengan si ibu yang membopoh tas dan anaknya tadi. Dengan sekejap mereka hilang dari pantauanku. Jadilah suasana dermaga satu kembali mencair. “Wah..bahaya! Bisa-bisa mati angin neh..”, gumam ku. Tidak ada lagi sumber berita bagiku. Sekelebat terlintas kata-kata produserku akan perlunya berita kriminal. Akupun segera meluncur ke pos KP3. Harapanku akan ada lagi Ahyadi-Ahyadi berikutnya.
Tidak lebih dari sepuluh menit jalan kaki. Aku dan camera person ku telah singgah di pos KP3. Tapi…dasar niatnya sudah jelek. Maka, tak ada satupun laporan kriminal yang hinggap di pos polisi ini. KP3 senyap dari korban. Yang ada hanya aparat polisi jaga yang selalu siaga dua puluh empat jam. Ada juga kawan-kawan pers yang senasib dengan ku sedang menunggu datangnya korban.
Dan satu lagi…seorang anak kecil yang tadi sempat ku lihat berada di antara kerumunan pemudik. Dengan kaos warna kuning kusam dan celana pendek coklat juga kusam, ia tampak lari dari hadapanku. Hentakan sandal jepitnya dengan sekejap hilang dari pendengaranku.
Segera saja ku kejar dia. “hey cil…tunggu…”, panggil ku. Ia berhenti di seberang KP3. Tepat di samping sebuah warung rokok, kuhampiri dia. “Woi cil..kau yang tadi di dermaga 1 kan…”, tegasku. “Iya bang..”, balasnya singkat.
“Ngapain kau malam-malam di KP3…ngga pulang kau...?”
“Ngga bang…Aku kerja di sini”, sahutnya lagi.
“Apa lah yang kau kerjain di KP3 ini..?”, selidikku kemudian.
“Aku…ngasih-ngasih informasi bang, ke polisi..”
“Maksudmu…?”
“Iya bang…karena aku masih kecil kan..jadi..orang-orang ngga akan curiga kalau aku lagi cari-cari informasi…”, lanjutnya lagi. “Kalo di kereta, di labuan, lagi ada kejadian apa..nanti aku kasih tau ke pos…kan orang-orang juga takkan curiga sama aku..”.
“Gimanalah caramu kasih informasi ke polisi?”, tanya ku lagi.
“Ya..aku kan…dikasih H-T kecil bang sama polisi..”, jawabnya. “Jadi aku tinggal kontek-kontek aja..”.
“Memang kau bisa make H-T itu?”…
“Ya bisa lah bang…aku kan diajari…”, kilahnya lagi.
“Trus..brapa lah kau dibayar sama polisi..?”
“Tiga puluh ribu bang..”, jawabnya.
“Tiga puluh ribu…??..per apa..bulan??”, tanya ku kemudian.
“Iya bang. Tiga puluh perbulan”, tegasnya.
“Trus…habis mu itu uang…? Ada ngga kau kasih orang tua mu?”
“Iya bang..orang tua ku kasih dua puluh lima ribu..lima ribu untukku makan..”, jelasnya. “Kalau aku sih..mana habisku bang uang segitu…”
Terlintas dalam benakku…polisi saja bisa menggunakan jasa anak ini untuk memperoleh informasi, kenapa aku tidak bisa? “Daripada nunggu-nunggu pantulan ngga jelas dari kawan-kawan, mendingan ku manfaatin anak ini aja ah…”, pikiranku menjelajah demi mendapatkan informasi dari polisi. Syukur-syukur ada peristiwa yang memakan korban besar dan sangat dramatis.
“Cil..kau mau coklat ngga?”, tawarku kemudian.
“Wah..mau bang…”, sambutnya. “Bang…aku juga mau dong topi yang kaya abang pake”, pintanya seraya menunjuk ke topi merek FILA yang sedang ku pakai.
“Ah..dahsyat betul anak ini…mintanya mulai macam-macam..”, keluh ku. Sebab, topi yang ku kenakan adalah pemberian dari sponsor yang jumlahnya amat terbatas. “Tapi, tak apa lah demi informasi..”, pikirku. “Iya cil. Tapi nanti ya…kau beri tau dulu abang kalo ada kejadian ya…”, tawarku kemudian.
Sangkala terus berlalu. Tak terasa hari baru telah menjelang dan fajar pun mulai menyingsing. Namun, sepinya pos KP3 Merak membuatku semakin gelisah karena tak dapat taruna.